Puncak dari pelaksanaan akad nikah adalah ijab-qabul (yang merupakan rukun terakhir dari akad nikah). Sah atau tidaknya suatu akad nikah tergantung kepada sah atau tidaknya ijab-qabul yang dilakukan. Karenanya, tidak heran jika untuk melakukan ijab-qabul biasanya penghulu melakukan pengkondisian suasana dengan pembacaan istighfar, syahadat, dan shalawat. Tujuannya agaknya untuk menyiapkan hati, menghadirkan kalbu, dan meluruskan niat, agar ijab-qabul yang akan dilaksanakan dapat berlangsung dengan sempurna sesuai ketentuan syariat.
Langkah penghulu ini, selain taat terhadap juklak dan juknis pelaksanaan
akad nikah yang telah dikeluarkan Departemen Agama, tentu juga sebagai
tanggung jawab moral sebagai pelayan masyarakat untuk melakukan
pelayanan prima. Masalahnya, terkadang penghulu dihadapkan kepada selera
dan keinginan masyarakat yang berbeda tentang penyelenggaraan akad,
khususnya ijab-qabul, karena berbedanya keyakinan madzhab yang dianut masyarakat.
Makalah
ini diharapkan menjadi informasi berharga bagi pelaksanaan tugas di
lapangan. Di dalamnya dibahas mengenai masalah-masalah yang biasa timbul
atau dimungkinkan timbul mengenai ijab-qabul. Antara lain masalah shighat (yang meliputi tiga masalah); masalah qabul yang dinyatakan sebelum ijab; masalah "cek-gur" (fauriyah); dan masalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh satu orang yang sama. Namun sebelumnya diurai terlebih dulu apa akad dan apa ijab-qabul.
Apa Akad dan Apa Ijab-Qabul
Secara bahasa, akad (العقد) berarti mengikat ujung suatu benda dengan ujung yang lainnya (الربط بين أطراف الشيء ) . Dalam konteks kehidupan, bermakna melakukan perikatan dengan orang lain (ارتبط مع شخص أخر).
Definisi Akad ini masih bermakna umum, karena melingkupi semua perikatan yang dilakukan manusia dengan sesamanya, yang dipilah menjadi dua: pertama, perikatan
yang berupa wakaf, thalak, sumpah, dan yang sejenisnya, yang
pelaksanaannya cukup dikemukakan maksudnya oleh satu pihak saja; kedua, perikatan
yang berbentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai, nikah, dan sebagainya,
yang mengharuskan kedua belah pihak yang melakukan perikatan
mengemukakan maksudnya. Perikatan kelompok pertama dinamai dengan tasharruf, sedangkan perikatan yang kedua dikenal dengan العقد
(tapi) dalam makna yang khusus.
(tapi) dalam makna yang khusus.
Aqad dalam makna yang khusus ini didefinisikan dengan:
ارتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله
"Tersimpulnya ijab dan qabul dalam perkara yang dibenarkan syariat yang berkonsekwensi tetapnya akibat sesuai yang dikehendaki (dalam ijab-qabul)"
Ijab dan qabul pada intinya merupakan perbuatan yang menunjukkan ridlonya kedua pihak yang melakukan akad (الفعل الدال على الرضا بالتعاقد). Dalam mendefinisikan ijab dan qabul, para ulama sedikit berbeda pendapat.
Ijab oleh ulama Hanafiyah didefinisikan sebagai:
إثبات الفعل الخاص الدال على الرضا الواقع أولا من كلام أحد المتعاقدين أو ما يقوم مقامه
"Perbuatan
tertentu yang dilakukan untuk menunjukkan keridloan, yang dinyatakan
pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan akad atau orang yang
mewakilinya."
Adapun qabul adalah:
ما ذكر ثانيا من كلام أحد المتعاقدين دالا على موافقه ورضاه بما أوجبه الأول
"Pernyataan
kedua yang diungkapkan satu pihak (lainnya) yang melakukan akad, yang
menunjukkan persetujuan dan keridloannya, sebagai jawaban dari
pernyataan (ijab) pihak pertama."
Definisi ulama Hanafiyah tersebut jelas mengharuskan bahwa ijab harus dinyatakan terlebih dahulu sebelum qabul; dan qabul tidak boleh mendahului ijab.
Sedangkan ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa ijab merupakan pernyataan dari orang yang mengalihkan hak, walaupun dilakukan belakangan (ما صدر ممن يكون منه التمليك وإن جاء مأخرا ); dan qabul adalah pernyataan dari orang yang diberi hak milik, walaupun dilakukan duluan (ما صدر ممن يصير له الملك وإن صدر أولا) .
Dari definisi ijab dan qabul ini
saja menimbulkan permasalahan, apalagi hal-hal lainnya yang lebih
jauh.. Karenanya, ayo kita bawa masalah-masalah tersebut dalam poin
bahasan selanjutnya.
Masalah-Masalah Ijab-Qabul
Shighat Ijab-Qabul
Shighat
adalah ungkapan orang yang melakukan akad untuk menunjukkan keinginan
dalam hatinya yang tersembunyi. Pengungkapan kehendak hati yang
tersembunyi tersebut dilakukan melalui ucapan atau perbuatan lain yang
menempati posisi sama dengan ucapan seperti isyarat atau tulisan. Dengan
definisi tersebut dapat digarisbawahi bahwa pada normalnya, shighat ijab-qabul
harus diungkapkan dengan ucapan, tetapi jika tidak bisa melakukannya
dengan ucapan, dapat menggunakan ungkapan lainnya seperti isyarat dan
tulisan.
Ijab-Qabul dengan Ucapan
Ucapan
merupakan alat utama untuk mengungkapkan maksud batin yang tersembunyi,
yang paling banyak dipakai dalam akad karena kemudahannya, juga karena
kekuatan dalalah dan faktor kejelasannya. Dengan kata-kata,
maksud batin yang tersembunyi lebih mudah diungkapkan dengan jelas dan
lebih mudah difahami, daripada menggunakan isyarat dan tulisan.
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa ucapan tersebut dapat menggunakan bahasa apa
saja yang dimengerti oleh kedua pihak yang berakad. Hanya sedikit ulama
yang mengharuskan ijab-qabul nikah dengan Bahasa Arab. Di antara
ulama tersebut adalah Ibn Qudamah (seorang ulama Syafi'iyah), ia
berpendapat, jika seseorang mampu berbahasa Arab tetapi kemudian tidak
menggunakan Bahasa Arab dalam ijab-qabul nikah, maka akadnya tidak sah. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh ulama Hanabilah.
Pendapat ini timbul dari keyakinan bahwa akad nikah merupakan ibadah seperti halnya shalat. Karena ibadah, maka ijab-qabulnya harus menggunakan Bahasa Arab seperti yang digunakan Rasulullah saw., sebagaimana kalimat takbir
(الله أكبر)
dalam shalat tidak bisa mengunakan bahasa Indonesia (umpamanya): "Allah Maha Besar."
Jadi, masalahnya terletak pada apakah akad nikah itu merupakan ibadah mahdhah seperti shalat, atau seperti akad-akad layaknya jual-beli, gadai, sewa-menyewa, dan yang sejenisnya.
(الله أكبر)
dalam shalat tidak bisa mengunakan bahasa Indonesia (umpamanya): "Allah Maha Besar."
Jadi, masalahnya terletak pada apakah akad nikah itu merupakan ibadah mahdhah seperti shalat, atau seperti akad-akad layaknya jual-beli, gadai, sewa-menyewa, dan yang sejenisnya.
Masalah
kemudian merembet kepada teknis penggunaan kata-katanya. Para ulama
berbeda pikiran dalam kata yang harus digunakan dalam akad nikah. Ulama
Hanafiyah membolehkan kata apa saja yang menunjukkan makna untuk
mengalihkan (hak) kepemilikan, seperti kata "menikahkan" (tazwij dan nikah), atau kata "memindahkan kepemilikan" (tamlik), "memberikan" (hibah), atau "menshadaqahkan", dengan syarat niatnya harus nikah disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah nikah, seperti memberikan mas kawinnya.
Sedangkan Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah memberikan syarat untuk sahnya akad nikah dengan harus digunakannya kata "nikah" (zawaja dan nakaha) saja dan semua kata yang berakar (yang dibentuk) darinya.
Selanjutnya masalah diteruskan mengenai bentuk kata yang digunakan, apakah menggunakan bentuk lampau, bentuk sedang dan akanan (mudhari atau present dan future tense), bentuk pertanyaan, ataupun bentuk perintah.
Para ulama sepakat mengenai penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi), seperti أنكحتك atau زوجتك,
karena bentuk ini sudah biasa digunakan untuk maksud sedang (melakukan)
dan bentuk yang digunakan Rasulullah saw. ketika menikahkan. Mereka
juga bersepakat bolehnya menggunakan bentuk fi'il mudhari (yang mengandung arti sedang dan akan), seperti أنكحك atau أزوجك dengan syarat harus ada niat bahwa yang dikehendaki adalah arti sedang. Tetapi tidak sah jika ada penambahan huruf/kata س dan سوف , yang sudah pasti menunjukkan makna akan. Tidak sah juga akad yang ijab-qabulnya menggunakan bentuk pertanyaan. Alasannya, bentuk pertanyaan menunjukan makna akan.
Pada intinya, ijab-qabul yang bermakna akan adalah tidak sah, seperti ucapan wali dalam akad nikah, "Saya akan nikahkan engkau besok ...," atau ucapan calon pengantin laki-laki, "Saya akan terima menikah satu bulan lagi ...."
Pada intinya, ijab-qabul yang bermakna akan adalah tidak sah, seperti ucapan wali dalam akad nikah, "Saya akan nikahkan engkau besok ...," atau ucapan calon pengantin laki-laki, "Saya akan terima menikah satu bulan lagi ...."
Mengenai penggunaan bentuk perintah akan terbahas pada masalah "Qabul Dinyatakan Sebelum Ijab"
Ijab-Qabul dengan Isyarat dan Tulisan
Madzhab Syafi'iyah dan Hanafiah hanya membolehkan ijab-qabul dilakukan
dengan isyarat bagi orang yang tidak bisa berbicara (karena bisu atau
karena sebab lainnya). Jika orang yang dapat berbicara melakukan ijab-qabul dengan
isyarat, maka dianggap tidak sah, karena isyarat dianggap kurang
meyakinkan. Sementara, Malikiyah dan Hanabilah menganggap sah ijab-qabulnya orang normal yang dilakukan dengan isyarat. Asal isyaratnya dapat dimengerti.
Adapun mengenai ijab-qabul dengan tulisan, para ulama berpendapat bahwa orang normal pun boleh melakukan ijab-qabulnya dengan tulisan. Karena kaidah fiqh menyatakan, "Tulisan sama kedudukannya dengan ucapan. (الكتابة كالخطاب)"
Dan jika seseorang bisu tetapi bisa menulis, maka harus diutamakan ia
melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sebelum ia melakukannya dengan
isyarat. Syaratnya, tulisan tersebut harus memenuhi dua kriteria:
- Tulisan tersebut harus tahan lama, artinya tidak boleh tulisan tersebut digoreskan pada media air atau udara;
- Tulisan tersebut diyakini dibuat oleh yang bersangkutan, dengan dibubuhi tanda tangan.
Ijab-Qabul dengan Perbuatan (Tanpa Ucapan, Isyarat ataupun Tulisan)
Contoh
ijab jenis ini dalam jual beli, pembeli mengambil barang yang dijual
lantas memberikan uang sesuai harganya kepada penjual, kemudian penjual
menerima uang tersebut. Penjual dan pembeli keduanya tidak mengucapkan
kata-kata apapun, juga tanpa ada isyarat ataupun tulisan.
Mengenai jual-beli, sewa-menyewa, gadai, atau hal lainnya selain pernikahan,
para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan ijab-qabul yang
seperti itu, sebagian tidak. Adapun dalam hal pernikahan, para ulama
sepakat akan tidak sahnya akad nikah yang dilakukan dengan ijab-qabul
seperti ini. Alasannya, pernikahan adalah hal yang riskan yang perlu
dijaga kesuciannya, karena berhubungan dengan nasib manusia (khususnya
wanita dan anak). Karena itu perlu kehati-hatian. Jadi, tidak bisa
dianggap sebagai ijab-qabul yang sah seperti contoh ini, wali
memegang tangan anaknya (catin perempuan), lantas ia memegangkan tangan
catin laki-laki kepada catin perempuan, kemudian ia melepaskan
pegangannya..
Qabul Dinyatakan Sebelum Ijab
Masalah ini muncul agaknya disebabkan
karena adanya hadits Nabi saw. yang menceritakan seorang wanita yang
mengajukan dirinya untuk dinikahi Nabi saw., tetapi Nabi saw. tidak
menerimanya. Kemudian seorang lelaki meminta kepada Nabi saw. untuk
dinikahkan oleh beliau kepada wanita tersebut, ia berkata, "Nikahkan
saya kepada perempuan itu (زوجنيها).".
Lantas Nabi saw. meminta lelaki itu untuk menyediakan mahar, tetapi
lelaki tersebut tidak memilikinya. Lelaki itu hanya sanggup untuk
membacakan (ayat) Al-Qur'an. Akhirnya Nabi saw. memberi pernyataan bahwa
beliau menikahkan lelaki tersebut kepada wanita tadi dengan mahar
(pembacaan ayat) Al-Qur'an, dengan ungkapan, "فقد أنكحتكها بما معك من القرأن".
Jika dicermati, pernyataan Nabi saw. menikahkan lelaki tersebut tiada lain adalah ijab. Nabi saw. di sini bertindak sebagai wali hakim (karena beliau adalah sulthan bagi kaum Muslim). Sementara, permintaan lelaki tersebut tentunya disebut sebagai qabul. Masalahnya, qabul lelaki tersebut diungkapkan dalam bentuk amr (perintah yang bermakan do'a)
yang diungkapkan sebelum ijab dari Nabi saw.
Mengenai ini, kebanyakan ahli fiqh, selain Hanafiah, menganggap bahwa akad yang menggunakan bentuk amr adalah boleh, tanpa harus adanya pernyataan ketiga. Seperti contoh hadits di atas, lelaki tadi tidak harus menyatakan lagi qabulnya setelah ijab Nabi saw. tersebut..yang diungkapkan sebelum ijab dari Nabi saw.
"Cek-Gur" (Fauriyah) dalam Ijab-Qabul
Yang dimaksud "cek-gur" (fauriyah) adalah qabul yang dilakukan langsung setelah ijab. Langsung berarti tidak ada jeda antara ijab dan qabul, dan
tidak diselingi atau didahului kata/kalimat lain. Mengenai hal ini,
jumhur ulama fiqh (Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah) tidak menjadikan "cek-gur" sebagai syarat ijab-qabul. Alasannya, untuk mengungkapkan qabul (yang
berarti persetujuan), seseorang memerlukan berfikir terlebih dahulu
(apakah akan setuju atau tidak, yang diistilahkan dengan khiyar majelis). Jika "cek-gur" disyaratkan, tentunya tidak mungkin ada waktu untuk berfikir. Karena itu, Jumhur hanya mengharuskan ijab-qabul dilakukan dalam "satu majelis", walaupun waktu berfikir (untuk qabul) cukup lama. Adanya persyaratan "cek-gur" justeru akan menyulitkan seseorang untuk melakukan qabul.
Sedangkan ulama Syafi'iyah sangat ngotot mensyaratkan "cek-gur" bagi ijab-qabul. Alasannya, khiyar majelis itu bisa dilakukan setelah ijab-qabul, dengan adanya hak fasakh (membatalkan) akad setelah ijab-qabul dilakukan.
Walaupun begitu, kubu ini mentolelir adanya jeda yang sejenak. Bahkan,
Al-Ramli (salah satu ulama Syafi'iyah) memperbolehkan membaca basmallah, hamdallah, dan shalawat sebelum mengucapkan qabul.
Ijab dan Qabul Dilakukan oleh Satu Orang yang Sama
Kebanyakan ulama Hanafiyah, kecuali Zafar, membolehkan ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama (bi aqid wahid). Karena, walaupun pada kenyataannya satu orang, tetapi dianggap menempati posisi yang berbeda.
Menurut mereka, bolehnya ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama, dalam lima keadaan sebagai berikut:
- Seorang kakek yang menikahkan cucu perempuannya (yang tidak punya saudara laki-laki) kepada cucu laki-lakinya yang masih belum dewasa (tetapi sudah mumayyiz) dari anaknya yang berbeda yang telah meninggal. Kakek menempati dua posisi: sebagai wali nikah bagi cucu perempuan dan "wali" (walayah, perwalian akad karena belum dewasa) dari cucu laki-lakinya.
- Seseorang yang menjadi wakil untuk wali dan wakil juga untuk calon pengantin laki-laki.
- Seseorang akan menikahi sepupunya yang perempuan. Walinya hanya tersisa dirinya, calon pengantin laki-laki (selaku anak paman bagi calon pengantin perempuan).
- Seseorang yang menjadi calon pengantin laki-laki, sekaligus wakil dari wali.
- Seseorang yang menjadi wali, juga menjadi wakil dari calon pengantin laki-laki.
Sementara Ulama Syafi'iyah hanya membolehkan ijab dan qabul dilakukan
oleh satu orang yang sama seperti yang diterangkan pada poin 1) di
atas. Itupun dilakukan karena terpaksa, dalam keadaan ketika tidak
adanya wali yang lain.
Penutup
Akhirnya, makalah ini ditutup dengan kesimpulan, yang berupa beberapa kristalisasi sebagai berikut:
- Akad nikah berbeda dengan akad-akad yang lainnya, karena menyangkut nasib manusia, khususnya wanita dan anak, juga karena nikah merupakan hal yang mesti dijaga kesuciannya salah satu sunnah Rasulullah saw. Sehingga, aturan pelaksanaan ijab-qabulnya pun berbeda dan lebih ketat persyaratannya.
- Perbedaan pendapat mengenai berbagai masalah dalam ijab-qabul lebih baik dijadikan alternatif penyelesaian untuk mengayomi selera dan keinginan masyarakat yang berbeda-beda dalam penyelenggaraan ijab-qabul, juga agar menjadi argumentasi untuk lebih mantapnya pelaksanaan tugas penghulu sebagai pelayan masyarakat.
- Sebagai aparat negara, jika di lapangan menemui kesulitan karena adanya perbedaan pendapat, sebagai langkah aman, sebaiknya penghulu berpegang kepada pendapat negara, sesuai kaidah, "Jika terjadi perbedaan pendapat, maka pendapat (yang dipegang) adalah pendapat imam. (إذا اختلف فالقول قول الإمام)".
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, terj. Tajul Arifin dkk., Kiblat Press, Bandung: 2002
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta: t.th.
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, Dar al-Fikr, Beirut: 1983
--------, Fiqh al-Sunnah, jilid VI, Dar al-Bayan, Kuwait: 1968
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid IV, Dar al-Fikr, Beirut: 1984
--------, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid VII, Dar al-Fikr, Beirut: 1984
0 komentar:
Post a Comment